9 Mei 2011

. SEL SISTEM IMUN

A.    SEL SISTEM IMUN
Yang tergolong organ sistem imun antara lain adalah kelenjar thimus, sumsum tulang, limpa, kelenjar getah bening serta organ limfoid di saluran nafas dan cerna.
Kelenjar thimus dan sumsum tulang merupakan organ limfoid sentral atau primer, tempat dikembangkannya sel imunokompeten. Sel pokok/asal limfosit tedapat dalam sumsum tulang yang kemudian mengalami maturasi dan mengalami pemrosesan khusus dikelenjar thimus akan menjadi sel T (thymus dependent lymphocyte) sedangkan yang mengalami maturasi dan pemrosesan khusus di sumsum tulang dan organ ekuivalen bursa akan menjadi sel B (bursa dependent lymphocyte). Sel T dan B selanjutnya akan bersirkulasidan akan singgah atau menetap di organ-organ limfoid sekunder atau perifer, seperti limpa, kelenjar getah bening, tonsil, plak mukosa dimana sel-sel tersebut siap menjalankan fungsinya. Organ-organ limfoid merupakan tempat imunokompetensi diwujudkan.
1.      Limposit T
Sel yang berasal dari thimus atau “T”, mengarahkan beragam unsur imunitas seluler dan juga penting untuk menginduksi imunitas humoral yang berasal dari sel B terhadap banyak anti gen. Sel T berjumlah 60-70% dari limposit dalam sirkulasi darah dan juga merupakan tipe limfosit utama dalam selaput periarteriol limpa serta zona interfolikular kelenjar getah bening. Setiap sel T diprogram secara genetik untuk mengenali suatu fargmen peptida yang diproses secara unik dengan menggunakan reseptor sel T (TCR, T-cell receptor) spesifik. Keberagaman TCR untuk bermiliar-miliar peptida potensial dihasilkan melalui penyusunan ulang somatik( somatic rearrangement ) dari gen yang mengode setiap rantai TCR. Seperti yang diperkirakan, setiap sel somatik mempunyai gen TCR yang berasal dari jalur germinal. Selama masa ontogeni, penyusunan ulang somatik gen ini hanya terjadi dalam sel T; olah sebab itu, demontrasi adanya penyisunan ulang gen TCR melalui metode molekular (misalnya, reaksi rantai polimerase ([ PCR]) merupakan suatu penanda pasti adanya sel jalur- keturunan T.
2.      Limfosit B
Limfosit yang berasal dari sumsum tulang, atau”B”, terdiri atas 10-20% dari populasi limfosit perifer yang beredar dalam sirkulasi. Sel ini terdapat pula dalam sumsum tulang, jaringan limfoid perifer (kelenjar getah bening, limpa, dan tonsil), serta dalam organ nonlimfoid, seperti traktus gastrointestinal. Sel B terletak pada folikel limpoid didalam korteks kelenjar getah bening dan pada pulpa putih limpa. Stimulasi (misalnya, oleh infeksi lokal) menyebabkan pembentukan zona sentral sel B yang diaktivasi dan besar dalam folikel, yang disebut sentrum germinativum.
            Setelah stimulasi,sel B membentuk sel plasma yang menyekresi imunoglobulin, yang selanjutnya menjadi mediator imunitah humoral. Terdapat lima isotipe imunoglobulin dasar; 95% antibodi dalam sirkulasi merupakan IgG, IgM, serta IgA dan peranan IgE dan IgD relatif minimal. Setiap isotipe mempunyai kemampuan khusus untuk mengaktivasi komplemen atau merekrut sel radang, serta mempunyai peranan yang jelas misalnya, IgA merupakan mediator penting pada imunitas mukosa, sedangkan IgE mempunyai kepentingan khusus untuk infeksi cacing (dan dalam respons alergi.   
3.      Makrofag
Makrofag (bersama sel dendrit, di bawah) mengeluarkan MHC kels II sehingga berperan penting dalam pemprosesan dan penyajin antigen ke sel T helper CD4+. Kareitasna sel T (kecuali sel B ) tidak dapat dipicu oleh antigen bebas, penyajian oleh makrofag atau APC lainnya merupakan suatu keharusa untuk indiksi imunitas yang diperantarai sel.
Makrofag menghasilkan sitoklin dalam jumlah yng berlebihan sehingga makrofag merupakan sel efektor penting dalam bentuk tertentu imunitas yang diperantarai oleh sel (misalnya, hipersensitivitas tipe lambat ). Sitoklin ini tidak hanya mempengaruhi sel T dan sel B, tetapi juga mempengaruhi jenis sel lain, termasuk endotel dan fibroblas.
Mkrofag memfagosit (dan akhirnya membunuh) mikroba yang diikat oleh antibodi dan komplemen oleh karena itu, makrofag merupakan unsur yang penting pada imunitas humoral.
4.      Sel dendrit
Sel yang memiliki morfologi dendritik (misalnya, dengan tonjolan sitoplasma dendrit yang halus) mempunyai dua tipe yang berbeda secara fungsional.
Sel dendrit interdigitans (atau lebih sederhana, sel dendrit). Sel ini merupakan sel nonfagositik yang mengeluarkan molekul MHC kelas II dan kostimulator dalam kadar tinggi. Sel ini tersebar luas, terdapat dalam jaringan limpoid dan ruang interstitium berbagai organ nonfoloid, misalnya, jantung dan paru ; sel serupa yang terdapat dalam epidermis disebut pula dengan sel langerhans. Karena  sebaran dan pengeluaran molekul permukaannya, membuat sel dendrit secara ideal sesuai untuk menyajikan antigen ke sel T CD4+ ; sel ini merupakan APC yang paling poten untuk sel T sederhana.
Sel dendrit folikular sesuai dengan namanya, sel dendrit folikular terutama terletak pada sentrum germinativum folikel limfoid dalam limfa dan kelenjar getah bening. Sel ini membawa reseptor Fc untuk IgG ( reseptor yang mengikat bagian yang tetap, atau Fc, dari antibodi ) sehingga secara effisien akan menjerat antigen yang terikat pada antibodi. Akibatnya, setelah terdapat suatu respons antibodi awal, antigen dapat bertahan dalam bentuk ini dalam jaringan limfoid dan mempermudah pemeliharaan memori immunologis. Yang jelas, sel secam itu penting dalam respons imun yang terus berlangsung dan akan dibahas secra lebih rinci lagi bersama dengan AIDS.
5.      Sel natural
Sel NK berukuran sedikit lebih besar dari pada limfosit kecil dan berjumlah 10% sehingga 15% limfosit darah perifer. Sel ini mengandung granula azurofilik yang berlimpah dan mampu menghancurkan berbagai sel tumor, sel yang terinfeksi virus, dan beberapa sel normal, tanpa sensitisasi sebelumnya. Sel ini diklasifikasikan sebagai bgian sistem immun bawaan (berlawanan dengan adaptif) yang merupkan lapis pertama pertahanan terhadap berbagai macam serangan.                     Meskipun turut andil dalam beberapa pernanda permukaan bersama dengan sel T, sel NK tidak mengeluarkan TCR dan merupakan CD3 negatif. Sebagai gantinya, sel NK mengeluarkan dua tipe reseptor permukaan yang memperkuat kemampuannya membunuh sel neoplastik atau sel yang terinfeksi virus.
B. Mekanisme jejas yang diperantarai imun (reaksi hipersensitivitas)
Meskipun aktivitas imun menyebabkan dihasilkannya antibodi serta respon sel=T yang pada umumnya memberi perlindungan terhadap infeksi (dan terhadap tumor yang meluas), respon tersebut secara potensial dapat pula marusak jaringan pejamu. Adanya sistem chek and balance yang sangat baik biasanya memungkinkan adanya pembasmian organisme anti-gen-spesifik yang menginfeksi meskipun hanya karena jejas yang ringan dan tidak membahayakan.
Semua bentuk jejas yang diperantarai imun ini biasanya secara kolektif merupakan reaksi hipersensitivitas. Penyakit  hipersensitivitas paling baik di klasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologi yang mengawali penyakit.
Reaksi hipersensitivitas menurut kebiasaan dibagi lebih lanjut ke dalam empat tipe ; tiga tipe merupakan variasi pada cedera yang diperantarai oleh antibodi, sedangkan tipe keempat diperantarai oleh sel.


a.      Hipersensitivitas Tipe I ( Alergi dan Anafilaksis)
Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat ( secara hanya dalam bilangan menit) setelah terjadi infeksi antara alergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe I dapat terjadi seabgai reaksi lokal yang benar-benar menggangu misalnya rhinitis musiman atau hay fever atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).
Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas :
1.    Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit.
2.    Reaksi fase lambat yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinifil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Pada manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh antibodi IgE. Rangkaiaan kejadiannya dimulai dengan pejanan awal terhadap antigen tertentu ( alergen ).

b.      Reaksi hipersensitivitas tipe II
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen jaringan. Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suaktu reaksi otoimun. Sel-sel sasaran biasanya di hancurkan.
Pada reaksi tipe II,pengikatan antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan komplemen,degranulasi selmast,edema interstisial,kerusakan jaringan dan lisis sel.reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel-sel pejamu oleh makrofag.
Contoh penyakit otoimun tipe II adalah penyakit grave,yang ditandai oleh terjadinya pembentukan anti body terhadap kelenjar tiroid:anemia hemolitik otoimun ketika antibody dibentuk terhadap sel darah merah reaksi tranfusi,yang melibatkan pembentukan anti body terhadap sel darah donor dan purpura trombositopenik otoimun yaitu terjadi pembentukan anti body terhadap trombosit.lupuseritematosus sistemik (LES) mengalami reaksi tipe II.

c.       Reaksi hipersensitivitas tipe III
Terjadi sewaktu kompleks antigen anti body yang bersirkulasi dalam darah mengendap dipembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.antibody tidak ditujukan kepada jaringan tersebut,tetapi terperangkap didalam jaringan kapilernya .pada sebagian kasus,antigen asing dapat melekat ke jaringan,menyebabkan terjadinya kompleks natigen antibody ditempat tersebut.
Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler di tempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Contoh reaksi hipersensitivita tipe III adalah penyakit serum (serum sickness), ketika terbentuk antibodi terhadap darah asing, sering sebagai respon terhadap penggunaan obat intravena. Kompleks antigen-antibodi mengendap di sistem pembuluh, sendi dan ginjal. Padaglomerulonefritis, terbentuk kompleks antigen-antibodi sebagai respon terhadap suatu infeksi, sering oleh bakteri streptokokus, dan mengendap di kapiler glomerolus ginjal. Pada lupus eritematosus sistemik, terbentuk antigen-antibodi terhadap kolagen dan DNA sel dan mengendap di berbagai tempat di seluruh tubuh

d.      Reaksi hipersensitivitas IV
Imunitas selular merupakan mekanisme utama respon terhadap berbagai macam mikroba, termasuk pathogen intrasel seperti mycrobacteriium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti fungi, protozoa, dan parasit. Namun, proses ini dapat pula menyebabkan kematian sel dan jejas jaringan, bai akibat pembersihan infeksi yang normal maupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Contoh lain reaksi hipersensitivitas selular adalah sesuatu yang disebut dengan sensitivitas kulit kontak terhadap bahan kimiawi (seperti, poison ivy) dan penolakan graft. Oleh karena itu, hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensititasi secara khusus bukan antibody dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitoksisitas sel langsung, diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel TCD4+tipeH1 menyekresi sitoksin sehingga menyebabkan adanya perekturan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas selular, sel T CD8+sitotoksik menjalankan fungsi efektor.
Pada reaksi yang di perantarai oleh sel T ini, terjadi pengaktivan sel T sitotoksik (CD8) atau sel T helper (CD4), oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel sitotoksik sering dibangkitkan oleh sel yang terinfeksi virus dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan luas. Reaksi yang di perantarai sel CD4 bersifat lambat (delayed), memerlukan waktu 24-72 jam untuk terbentuknya sel tersebut ditandai dengan pembentukan sitokin-inflamatori yang merangsang fagositosis makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema.
Contoh yang disebabkan oleh reaksi tipe IV adalah tiroiditis otoimun (hashimoto), ketika terbentuk sel T terhadap jaringan tiroid, penolakan tandur dan tumor dan reaksi alergi tipe lambat, misalnya alergi terhadap poison ivy. Uji kulit tuberkulin mengisyaratkan adanya imunitas yang di perantarai oleh sel secara lambat terhadap basil tuberkulosis.

C.      MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA  IMUNOLOGIS
I tipe Anafilaksis
ü  Mekanisme umum :
Alergen mengikat silang antibodi IgE        pelepasan anima vasoaktif dan mediator lain dari basofil dan sel mast       rekrutmen sel radang lain
ü  Gangguan Prototipe :
Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronkial
II Antibodi terhadap antigen jaringan tertentu
ü  Mekanisme umum :
IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada permukaan sel       fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotoksitas yang diperantarai oleh sel yang bergangtung antibodi
ü  Gangguan Prototipe :
Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
III Penyakit Kompleks Imun
ü  Mekanisme umum :
Kompleks antigen-antibody         mengaktifkan komplemen              menarik perhatian neutrofil         pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-lain
ü  Gangguan prototipe :
Reaksi Arthus, serum sicknes, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glomerulonefritis akut.
IV Hipersensitivitas selular ( lambat )
ü  Mekanisme umum :
Limfosit T tersensitasi         pelepasan sitikonin dan sitotoksitas yang diperantarai sel T
ü  Gangguan ptototipe :
Tuberkulosis, dermatis kontak, penolakan transplan


D.    PENYAKIT AUTOIMIUN
Auto imun adalah sistem kekebalan yaang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
Diperkirakan penyakit autoimun berkisar dari penyakit yang mengarahkan respons imun spesifik untuk n melawan satu organ atau tipe sel tertentu dan menimbulkan kerusakan jaringan lokal higga ke penyakit multisistem yang ditandai dengan lesi di berbagai organ dan disertai dengan autoantibodi dalam jumlah yang besar atau reaksi selular.
Dalam reaksi selular perubahan patologis terutama terjadi di jaringan ikat dan pembuluh darah pada berbagai organ yang terserang. Meskipun dalam kenyataannya reaksi pada penyakit sistemik ini tidak secara spesifik di arahkan untuk melawan unsur jaringan ikat atau pembuluh darah, tetapi sering kali disebut gangguan “vascular kolagen” atau “ jaringan ikat “.

A.    FAKTOR GENETIK PADA AUTOIMUNITAS
Terdapat sedikit keraguan bahwa factor genetidalam kecc berperan secara bermakna  dalam kecenderungan terjadinya penyakit autoimun, seperti yang diusulkan melalui pengamatan ini :
·         Pengelompokan familial pada beberapa penyakit autoimun, misalnya SLE , anemia hemofilik autoimun dan tiroiditis autoimun.
·         Hubungan antara beberapa penyakit autoimun dengan HLA, terutama antigen s II.
Peranan pasti gen MHC dalam autoimunitas  belum sepenuhnya jelas.



B.     INFEKSI PADA AUTOIMUNITAS
Sejumlah mkiroba , termasuk bakteri, mikroplasma dan virus,telah dikaitkan dalam pemicuan autoimunitas. Mikroba secara potensial dapat memicu reaksi autoimun melalui bebrapa cara:
·      Virus dan mikroba lain , terutama bakteri tertentu, misalnya streptococci dan organisme klebsiella, dapat menyerahkan eptiop yang bereaksi-silang kapada antigen sendiri.
·      Antigen dan autoantigen mikrobia dapat saling bergabung untuk membentuk satuan imunogenik dan melakukan pintas toleransi sel T, seperti yang digambarkan sebelumnya.
·      Beberapa virus (misalnya , EBV) dan produk bakteri merupakan mitogen sel T atau sel B poliklonal nonspesifik sehingga dapayt menginduksi pembentukan autoantibody dan /atau menghentikan anergi sel T.
·      Infeksi mikroba yang disertai nekrosis jaringan dan inflamasi dapat menggiatkan molekul kostimulator untuk mengistirahatkan APC dalam jaringan sehingga membantu penghentian anergi sel T.
·      Respon peradangan local dapat mempermudah ,penyajian antigen terembunyi sehingga menginduksi penyebaran  epitop.

C.     Macam- macam penyakit autoimun

1.      SLE – SYSTEM LUPUS ERYTHEMATOSUS
SLE adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah-ubah.
Secara klinis SLE adalah penyakit kambuhan dan sulit di’perkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar yang sebenarnya dapat mentyerang setiap organ tubuh, namun penyakit ini terutama menyerang kulit,ginjal,membrane serosa,sendi,dan jantung.
Secara imunologis ,penyakit ini melibatkan susunan autoantibody yang membingungkan, yang secara klasik termasuk antibody antinuclear. Pada banyak pasien ditemukan adanya antibody yang melawan sel darah,termasuk eritrosit,trombosit dan limfosit. Bebrapa antibody berkaitan pada antigen kardiolipin,yang digunakan  dalamuji serologis untuk sifilis,sehingga penderita lupus dapat memperoleh hasil uji positif-keliru untuk sifilis. Karena fosfolifid diperlukan untuk pemnggumplan darah.
FAKTOR GENETIK
Genetic terjadinya SLE mempunyai beberapa bentuk :
·      Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada monozigot versus kembar dizigotik (1% hingga 3%)
·      Anggota keluarga mempunyai hrisiko yang meningkat untuk menderita SLE,dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secra klinis tidak terkena dapat menunjukan adanya autoantibody.
·      Pada popilasi orang kulit putih di A merika Utara,terdapat hubungan ‘positif an antara SLE dan gen HLA kelas II,terutama ‘pada lokus HLA-DQ.
·      Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen komplemen yang diturunkan.
     Kekurangan komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

FAKTOR NONGENETIK
Contoh yang paling jelas dari factor nongenetic  (misalnya, lingkungan )  dan memlulai terjadinya SLE adalah adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin.

FAKTOR IMUNOLOGIS
Semua gambaran imunologis yang ditemukan pada penderiita SLE secara jelas member petunjuk bahwa kakacauan mendasar pada system imun berlaku pada patogenesisnya.
Namun, meskipun terdapat bermacam-macam kalainan imunologis , baik pada sel T maupun pada se B pada pasien SLE, sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab .
2.      ATRITIS
Atristis adalah peradangan sendi-sendi ditandai dengan nyeri, panas, kemerahan dan pembengkakan. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan gerak.
3.      Sindrom syogren
Ditandai dengan keluhan kekeringan pada mata (xerophthalmia) dan mulut (xerostomia). Kelainan ini dapat terjadi secara tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit autoimun yang lain. Gejalanya dapat berupa penglihatan kabur, mata gatal, sariawan, kesulitan menelan penurunan daya pengecap.
4.      Skeloris sistemik (skleroderma)
Ditandai dengan fibrosis terutama pada kulit. Yang dapat disertai atau kemudian melibatkan berbagai organ seperti saluran pernapasan, saluran cerna, jantung, ginjal, vaskuler.
5.      Nodosa poliarteritis
            kerusakan dan peradangan arteri yang berukuran sedang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke organ-organ yang diperdarahinya.
6.      Sindroma Myasthemia
Ada 2 jenis sindrom ini yaitu :
1.      Myasthemia gravis
            dibentuk auto antibodi terhadap reseptor asetilkolin sehingga terjadi hambatan dan menyebabkan gagalnya transmisi syaraf ke otot. Ditandai oleh kelelahan dan kelemahan otot mata yang menyebabkan penglihatan ganda dan menurunnya kelopak mata. gejalanya dapat disembuhkan sedangkan penyakitnya belum dapat disembuhkan.
2. Myasthemia lamber-Eaton
            dibentuk antibodi terhadap protein kanal kalsium yang menghambat pelepasan asetilkolin dari ujung syaraf.
7.      Penyakit jaringan ikat campuran
            Istilah penyakit jaringan ikat biasanya digunakan:
Ø   pada pasien menunjukan beragam gambaran yang memberi petunjuk adanya penyakit SLE, Polimiotis, dan sklerosis sistemik
Ø   pada pasien yang mempunyai titer antibodi yang tinggi terhadap anti gen RNP yang disebut dengan U1RNP
            Penyakit jaringan ikat dapat muncul sebagai:
Ø   Atritis
Ø   pembengkakan tangan
Ø   Fenomena Raynaud
Ø   Miositis
Ø   Demam
Ø   Limfadenopati
Ø   Leukopenia dan anemia



8.      HIV ( human imunodefisiensi virus )
   Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Masa inkubasi HIV biasanya 2-5 tahun yang menyerang sel T helper
   Gejala :
¢  Berat badan turun secara drastis sehingga penderita semakin kurus,
¢  Mencret lebih dari satu bulan
¢  Demam lebih dari satu bulan, kadang-kadang datang dan hilang dengan sendirinya.
HIV ditularkan melalui :
¢  Pertukaran cairan tubuh, darah , semen, cairan vagina
¢  Kontak seksual
¢  Inokulasi parenteral ( masuknya mikroorganisme kedalam jaringan tubuh )
Asma
Merupakan peradangan saluran nafas yang reversibel. Pembengkakan pada the lining of bronchial tubes in the lungs. Sekresi cairan kental yang berlebih.
Gejala yang biasa ditimbulkan oleh asma antara lain:
¢  Nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek).
¢  Nafas pendek, biasanya hanya terjadi ketika sedang berolahraga.
¢  Rasa sesak di dada.
¢  Batuk-batuk hanya pada malam hari.
TBC
  Tubercolosis adalah penyakit menular pada manausia dan hewan yang disebabkan oleh spesies mycobakterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosapada jaringan setiap organ.
gejalanya TBC yaitu :
¢   demam tidak terlalu tinggi biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam.
¢  Penurunan nafsu makan dan berat badan.
¢  Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

ANEMIA
Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah dibawah normal ( kekurangan produksi sel darah merah )
Penyebabnya antara lain :
¢  Penghancuran sel darah merah yang berlebihan ( usia sel darah merah 120 hari )
¢  Kehilangan darah
¢  Kekurangan zat besi atau vitamin
¢  infeksi


























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Jadi Sel T itu merupakan sel  yang berasal dari :”Thimus”  yang berasal dari kelenjar thimus sedangkan sel B Limfosit B berasal dari sumsum tulang.Berperan dalam kekebalan humoral, yaitu memproduksi zat anti atau antibodi, berupa molekul imonoglobulin. Imunoglobulin di bentuk oleh sel B yang berperan sebagai mediator ada Ig M,G,A,D,E.
Sedangkan makrofag adalah sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam jumlah yang sangat besar. Dan sel dendrit merupakan sel penyaji antigen yang tersebar diberbagai organ. Misal, jantung, paru-paru.
reaksi hipersensitivitas dalah respon peradangan dan imun yang abnormal dan dapat  menimbulkan kerusakan jaringan. Ada 4 jenis  reaksi hipersensitivitas, yaitu :Hipersensitivitas Tipe I, II , III, dan IV.
            Auto imun adalah sistem kekebalan yaang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Ada berbagai macam penyakit autoimun diantaranya :
       SLE ( systemic lupus erythematosus
       Atritis
       Sindrom Syogren
       Sklerosis sistemik
       Nodosa Poliarteritis
       Sindroma myasthemia
       Jaringan ikat campuran













DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, KG 2004 : immunologi Dasar edisi ke-6. Jakarta : fakultas kedokteran UI
Kumar V, Cotran RS., Robbins SL., Phatology, sith ed. WB Saunder Company 1997:132-174
Pringgoutomo , S dkk 2002 “Buku Ajar Patologi I (umum) edisi ke-1. Jakarta : Sagung Seto
Kumar Cotran and Robbins. Basic Pathology. 6

0 comments:

Posting Komentar